Senin, 08 Juni 2015

RESENSI NOVEL "RINDU" Karya TERE LIYE

RESENSI NOVEL “RINDU” karya TERE LIYE
A.    Identitas Buku
Judul Buku                  : Rindu
Penerbit                       : Republika
Penulis                         : Tere Liye
Editor                          : Andriyati 
Cover                          : EMTE
Lay out                        : Alfian
ISBN                           : 978-602-8997-90-4
Jumlah Halaman          : 544 halaman
Tahun Terbit                : 2014
Cetakan Pertama         : Oktober 2014
Harga                          : Rp 63.000 ,- harga asli / Rp 50.000 ,- harga bazar
B.     Sinopsis
Hari itu, 1 Desember 1938 merupakan hari yang istimewa untuk Kota Makassar. Pertama kalinya dalam sejarah kota itu disinggahi oleh sebuah kapal yang sangat besar pada zamannya. Ya, Blitar Holland demikian tertulis di lambung kapalnya. Dengan panjang 136 meter dan lebar 16 meter, tidak ada bangunan lain di Makassar yang bisa menandingi tinggi menara uapnya kala itu.
Tapi hari itu bersejarah bukan satu-satunya disebabkan karena besarnya kapal tersebut, bukan juga karena banyaknya muatan kargo yang akan dibawa, namun karena pelayaran kali ini merupakan perjalanan yang sangat istimewa. Sebuah perjalanan yang menuntut pengorbanan moril dan materil. Sebuah perjalanan yag panjang, bermula dari Kota Makassar, menyeberangi  selat sulawesi menuju Surabaya, singgah di Semarang dan Batavia, melintasi selat sunda menuju Lampung, menjelajahi Samudera Indonesia, mengarungi lautan Pasifik hingga sampai di Jeddah. Sebuah perjalanan yang amat sangat dinanti dan dirindukan oleh para penumpangnya setelah sekian lama menunggu.
Adalah Daeng Andipati, seorang pengusaha muda dari Kota Makassar.  Berpendidikan. Pernah mengenyam pendidikan di Rotterdam School of Commerce. Daeng Andipati berencana memulai sebuah perjalanan panjang bersama istri dan dua anak gadisnya, Elsa dan Anna. Keluarganya begitu berbahagia (kelihatannya) tapi dalam perjalanan panjang ini terkuak pertanyaan-pertanyaan termasuk Daeng Andipati.
Hari itu bukan hanya Daeng Andipati tapi juga ada Gurutta yang juga bergairah untuk menyambut perjalanan panjangnya. Dia mencukur rambutnya di sebuah salon yg tidak jauh dari pelabuhan makassar. Ahmad Karaeng namanya, namun penduduk Makassar dan sekitarnya lebih mengenalnya sebagaiGurutta. Masih terbilang keturunan Raja gowa dan Sultan Hasanuddin. Beliau merupakan seorang ulama masyur dan menjadi Imam Masjid Katangka.
Namun, tidak seperti keluarga Daeng Andipati dan Gurutta, yang menyambut gembira perjalanannya. Ambo Uleng, mantan pelaut yang melamar menjadi kelasi di Kapal Blitar Holland, terlihat diam dan tak banyak bicara. Ambo Uleng memang membutuhkan perjalanan ini tapi bukan untuk mengantarnya ke suatu tujuan, namun untuk pergi lenyap menghilang dari kota asalnya, meninggalkan masa lalu yang menyesakkan.
“Hanya ada dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai…..Satu karena kebencian yang sangat dalam, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.” (hal 33) Demikian tutur Kapten Phillips, si Kapten Kapal ketika mewawancarainya.
Di awal-awal cerita, terlihat jalinan kisah cenderung sederhana. Menceritakan tentang awal kapal Blitar Holland berlayar dari Makassar ke Surabaya. Karena perjalanan ini juga melibatkan anak-anak, sehingga Gurutta memberikan ide agar selama perjalanan anak-anak tetap bisa bersekolah dan mengaji. Maka datanglah tokoh Bonda Upe yang bersedia untuk mengajari anak-anak mengaji tiap sore harinya. Kemudian dari perjalanan Surabaya – Semarang, hadirlah tokoh Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soeryaningrat, dua tokoh pendidikan di Surabaya. Mereka yang akan bergantian mengajari anak-anak di sekolah kapal. Tokoh Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet hadir saat pelayaran rute Semarang – Batavia. Kedua tokoh ini yang meramaikan suasana perjalanan di kapal dengan dijadikan bahan olokan dan becanda oleh Elsa dan Anna, kedua putri Daeng Andipati.
Perjalanan penumpang kapal  Blitar Holland merupakan perjalanan yang tak biasa, perjalanan panjang menuju suatu tempat suci, perjalanan lima tokoh dalam novel ini yang merindukan untuk mendapatkan suatu kedamaian di dalam hati masing-masing. Masing-masing dari mereka membawa beban berat karena pertanyaan-pertanyaan di masa lalu yang belum terjawab. Padahal jalan menuju tempat suci Mekkah sudah mulai dilalui. Akankah pertanyaan-pertanyaan mereka akan terjawab?
“Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan” (hal.222)
Ternyata Bonda Upe, guru mengaji anak-anak, yang lebih dahulu melontarkan pertanyaannya. Dan melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, perjalanan Makassae-Surabaya-Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Colombo, Jeddah menjadi sebuah perjalanan yang membuka kisah masa lalu dari para tokoh cerita novel ini. Empat tokoh lainnya menunggu waktu, kapan tepatnya pertanyaan dari mereka akan terjawab.
Walaupun sudah enggan ketika menerima ajakan Gurutta untuk makan soto di sebuah kedai makan dekat Stad Huis, kantor Balai Kota Batavia, akhirnya Bonda Upe luluh juga setelah mendengar suara Anna datang menjemput. Keengganan Bonda Upe bukan hanya keengganan berkumpul dengan orang banyak seperti biasa, kali ini merupakan keengganan untuk menjejakkan kaki di tanah Batavia. Kota yang telah merenggut kegadisannya, telah merenggut kemerdekaannya dengan menjadikan dirinya seorang Cabo selama lima belas tahun.  Cukup dengan satu panggilan singkat “Ling Ling?” dari seorang perempuan yang ada di kedai tersebut, masa lalu Bonda Upe pun menyeruak mencari jalannya untuk diungkapkan kembali.
Pertanyaan kedua datang dari Daeng Andipati , keluarganya memang begitu bahagia sepertinya tapi siapa sangka masa lalu nya begitu memilukan. Ini terkuak ketika Gori Penjagal mantan pesuruh ayahnya berusaha membunuh Daeng Andipati lantaran dendam masa  lalunya kepada ayah Daeng Andipati. “Bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini? Apakah tanah suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?”( hal 372 ).
Pertanyaan ketiga muncul dari sosok sepuh yang begitu mencintai istrinya yakni Mbah Kakung. Pasangan yang begitu romantic semasa hidupnya , dan kini Mbah Putri telah kembali kepada yang kuasa dan dimakamkan dengan cara ditenggelamkan di Samudra Hindia , ya pemakaman ala pelaut. “Gurutta ? Kenapa saat kami sudah sedikit lagi dari Tanah Suci. Kenapa harus ada diatas laut ini. Tidak bisakah ditunda barang satu dua bulan ? atau ,…….” (hal 469).
Pertanyaan keempat datang dari sang pelaut tangguh Ambo Uleng. Seorang kelasi dapur kapal yang lebih banyak diam , didera perasaan menyesal yang teramat dalam akan masa lalunya. Lantaran kekasihnya hendak dijodohkan dengan pemuda yang lebih pantas. “ Apakah itu cinta sejati ? Apakah kau besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu ? apakah kau masih memiliki kesempatan ?,…” ( hal 491 )
Pertanyaan terakhir pun akhirnya keluar bukan dari penumpang biasa , melainkan dari ulama masyur Gurutta Ahmad Karaeng , “Bagaimana jika saat gelap gulita peluru atau golok perompak itu akan melukai anak-anak ,Ambo ? Bagaimana jika melukai orang tua ? … (hal 530) Orang yang pandai menjawab begitu banyak pertanyaan sekarang bahkan tidak berani menjawab pertanyaan diri sendiri. Aku selalu lari dari kenyataan ,…. ( hal 532 )
Terakhir ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
C.     Kelebihan dan Kekurangan Novel “Rindu” Tere Liye
1.      Kelebihan Novel “Rindu” Tere Liye
a.      Kisah yang dituturkan dengan menggunakan gaya bahasa kekinian, membuat novel yang berlatar jaman penjajahan ini tidak kaku. “ Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya kita sayangi…… (hal 372)”
b.      Pembaca dibuat terhanyut sampai lupa kalau ini kisah sebelum perang dunia kedua. Seperti penggalan kisah saat Mbah Kakung hendak melamar Mbah Putri , “ Bapak aku punya cinta yang besar , hanya itu yang bisa kujanjikan. Dengan cinta aku memastikan putri Bapak bahagia selama-lamaya.” ( halaman 207 ). Ditengah kemelut peperangan yang sedang terjadi masih terselip kisah cinta klasik yang sangat menghanyutkan pembaca.
c.       Berbagai macam ilmu pengetahuan yang disampaikan didalam novel, membuat pembaca terkagum - kagum atas kepintaran penulisnya. “ Bapak Soerjaningrat sedang mengajari anak-anak pelajaran berhitung ,” Bibi sedang mabuk laut. Ia bingung sekali , bisa berhitung dengan baik. Ia baru saja membeli 1/3 kg beras ,,,,,,,,,,” (hal 280) contoh yang digunakan pun berasal dari keseharian anak-anak selama perjalanan di kapal ini sehingga anak-anak dengan mudah bisa menangkap. Begitu luar biasanya penulis mampu menceritakan kisahnya dengan penuh dedikasi dalam berbagai ilmu.
d.      Walau alur ceritanya mundur, sang penulis tetap pandai mengemas dialog dan membawa pembaca ke rasa penasaran yang luar biasa. Pembaca sengaja dipermainkan emosinya agar tetap penasaran, dan terus bersabar menunggu pertanyaan - pertanyaan itu tiba. “Kemana Ambo Uleng setelah 36 jam menghilang …………(hal 245)
2.      Kelemahan Novel “Rindu” Tere Liye
a.       Halaman 170 dan 171 penjelasan dengan bentuk tanda baca dalam kurung  terhadap keterangan bangunan Outstadt dan Nederlandsch Indishe Spoorweg Maatschappij pada masa kini, sesungguhnya tidaklah perlu. Cukup dibuatkan dalam bentuk catatan kaki saja. Karena ini akan mengganggu setting cerita.
b.      Terlalu berlebihan menggambarkan imajinasi seorang anak kecil berumur sembilan tahun.  Seperti terdapat pada hal 76 “Anna bahkan sempat berpikir , jangan-jangan cuaca buruk ini juga karena ada penumpang yang berbuat kesalahan. Dan terlalu berlebihan menggambarkan kisah cinta kakek-nenek yang membuat pembaca bertanya 'Apa benar ada kisah cinta seromantis itu di jaman itu ?'.  “ Sejak aku menikah , hidupku tak memiliki pertanyaan lagi Gurutta. Aku sudah memiliki semua jawaban buat apa bertanya lagi? Aku menghabiskan waktu dengan pasti. Aku bersyukur atas setiap takdir yang ku terima.” ( halaman 468 ) Bagaimana bisa manusia hidup tanpa memiliki pertanyaan dan keinginan , dalam kenyataannya itulah hakikat manusia itu sendiri.
c.       Kemudian untuk tulisan masih ada beberapa typo disana - sini, penulisan huruf ganda, atau bahkan salah nulis tahun. Mungkin editornya terlalu lelah. Di cetakan pertama pada halaman 322 tertulis 12 Oktober 2013, Tanggal 12 Desember 2013 , pukul dua siang. Kapal Blitar Holland melanjutkan perjalanan …… ( hal 322). Seharusnya bukan 2013 karena kisah ini merupakan kisah dari zaman penjajahan.

D.    Kesimpulan
Disamping kaya akan muatan sejarah,  berupa kuatnya deskripsi situasi dan keadaan kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal, novel Rindu ini juga banyak memunculkan peristiwa seru yang tidak terduga yang menghubungkannya dengan pertanyaan lain dari para tokohnya. Peristiwa mesin kapal rusak hingga mati, kejadian Mbah Putri meninggal mendadak hingga kejadian perompakan kapal oleh bajak laut Somalia, semuanya terangkum untuk membuat pembaca tak berhenti membaca dari awal hingga akhir. Bagi anda yang belum membaca, jangan sungkan untuk menyisihkan Rp 63.000 dari uang anda untuk membeli novel ini. Saya sangat merekomendasikan anda untuk membaca novel ini. Karena novel ini menyuguhkan  pembelajaran tentang kehidupan, menyuguhkan pembelajaran tentang masa lalu yang memilukan, tentang kebencian kepada sesorang yang seharusnya disayangi, tentang kehilangan dan cinta sejati, tentang kemunafikan. Karena hal-hal itu sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Novel ini sangat layak untuk menjadi teman santai , baik kalangan dewasa ataupun remaja. Novel ini juga bersifat mendidik , dibuktikan dengan banyaknya variasi ilmu pengetahuan , serta dedikasi seorang guru yang tidak kenal tempat dimanapun dan kapanpun dia akan tetap menjadi seorang guru. Saya sebagai calon pendidik sangat mengapresiasi akan peran Bapak Mangoenkusumo dan Bapak Soerjaningrat yang diceritakan oleh penulis dengan sangat apik dan penuh dedikasi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar