RESENSI
NOVEL “RINDU” karya TERE LIYE
A. Identitas
Buku
Judul
Buku : Rindu
Penerbit : Republika
Penulis : Tere Liye
Editor : Andriyati
Penerbit : Republika
Penulis : Tere Liye
Editor : Andriyati
Cover
: EMTE
Lay
out : Alfian
ISBN
:
978-602-8997-90-4
Jumlah Halaman : 544 halaman
Tahun Terbit : 2014
Cetakan Pertama : Oktober 2014
Jumlah Halaman : 544 halaman
Tahun Terbit : 2014
Cetakan Pertama : Oktober 2014
Harga
: Rp 63.000 ,-
harga asli / Rp 50.000 ,- harga bazar
B. Sinopsis
Hari
itu, 1 Desember 1938 merupakan hari yang istimewa untuk Kota Makassar. Pertama
kalinya dalam sejarah kota itu disinggahi oleh sebuah kapal yang sangat besar
pada zamannya. Ya, Blitar Holland demikian tertulis di lambung kapalnya. Dengan
panjang 136 meter dan lebar 16 meter, tidak ada bangunan lain di Makassar yang
bisa menandingi tinggi menara uapnya kala itu.
Tapi
hari itu bersejarah bukan satu-satunya disebabkan karena besarnya kapal
tersebut, bukan juga karena banyaknya muatan kargo yang akan dibawa, namun
karena pelayaran kali ini merupakan perjalanan yang sangat istimewa. Sebuah
perjalanan yang menuntut pengorbanan moril dan materil. Sebuah perjalanan yag
panjang, bermula dari Kota Makassar, menyeberangi selat sulawesi menuju
Surabaya, singgah di Semarang dan Batavia, melintasi selat sunda menuju
Lampung, menjelajahi Samudera Indonesia, mengarungi lautan Pasifik hingga
sampai di Jeddah. Sebuah perjalanan yang amat sangat dinanti dan dirindukan
oleh para penumpangnya setelah sekian lama menunggu.
Adalah
Daeng Andipati, seorang pengusaha muda dari Kota Makassar. Berpendidikan.
Pernah mengenyam pendidikan di Rotterdam School of Commerce. Daeng Andipati
berencana memulai sebuah perjalanan panjang bersama istri dan dua anak
gadisnya, Elsa dan Anna. Keluarganya begitu berbahagia (kelihatannya) tapi
dalam perjalanan panjang ini terkuak pertanyaan-pertanyaan termasuk Daeng
Andipati.
Hari
itu bukan hanya Daeng Andipati tapi juga ada Gurutta yang juga
bergairah untuk menyambut perjalanan panjangnya. Dia mencukur rambutnya di
sebuah salon yg tidak jauh dari pelabuhan makassar. Ahmad Karaeng namanya,
namun penduduk Makassar dan sekitarnya lebih mengenalnya sebagaiGurutta. Masih
terbilang keturunan Raja gowa dan Sultan Hasanuddin. Beliau merupakan seorang
ulama masyur dan menjadi Imam Masjid Katangka.
Namun, tidak seperti
keluarga Daeng Andipati dan Gurutta, yang menyambut gembira perjalanannya.
Ambo Uleng, mantan pelaut yang melamar menjadi kelasi di Kapal Blitar Holland,
terlihat diam dan tak banyak bicara. Ambo Uleng memang membutuhkan perjalanan
ini tapi bukan untuk mengantarnya ke suatu tujuan, namun untuk pergi lenyap
menghilang dari kota asalnya, meninggalkan masa lalu yang menyesakkan.
“Hanya ada dua hal yang bisa
membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai…..Satu
karena kebencian yang sangat dalam, satu lagi karena rasa cinta yang sangat
dalam.” (hal 33) Demikian tutur Kapten Phillips, si Kapten
Kapal ketika mewawancarainya.
Di
awal-awal cerita, terlihat jalinan kisah cenderung sederhana. Menceritakan
tentang awal kapal Blitar Holland berlayar dari Makassar ke Surabaya. Karena
perjalanan ini juga melibatkan anak-anak, sehingga Gurutta memberikan ide
agar selama perjalanan anak-anak tetap bisa bersekolah dan mengaji. Maka
datanglah tokoh Bonda Upe yang bersedia untuk mengajari anak-anak
mengaji tiap sore harinya. Kemudian dari perjalanan Surabaya – Semarang, hadirlah
tokoh Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soeryaningrat, dua tokoh pendidikan di
Surabaya. Mereka yang akan bergantian mengajari anak-anak di sekolah kapal.
Tokoh Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet hadir saat pelayaran rute
Semarang – Batavia. Kedua tokoh ini yang meramaikan suasana perjalanan di kapal
dengan dijadikan bahan olokan dan becanda oleh Elsa dan Anna, kedua putri Daeng
Andipati.
Perjalanan
penumpang kapal Blitar Holland merupakan perjalanan yang tak biasa,
perjalanan panjang menuju suatu tempat suci, perjalanan lima tokoh dalam novel
ini yang merindukan untuk mendapatkan suatu kedamaian di dalam hati
masing-masing. Masing-masing dari mereka membawa beban berat karena
pertanyaan-pertanyaan di masa lalu yang belum terjawab. Padahal jalan menuju
tempat suci Mekkah sudah mulai dilalui. Akankah pertanyaan-pertanyaan mereka
akan terjawab?
“Setiap perjalanan selalu disertai
oleh pertanyaan-pertanyaan” (hal.222)
Ternyata Bonda Upe,
guru mengaji anak-anak, yang lebih dahulu melontarkan pertanyaannya. Dan
melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, perjalanan Makassae-Surabaya-Batavia,
Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Colombo, Jeddah menjadi sebuah
perjalanan yang membuka kisah masa lalu dari para tokoh cerita novel ini. Empat
tokoh lainnya menunggu waktu, kapan tepatnya pertanyaan dari mereka akan
terjawab.
Walaupun
sudah enggan ketika menerima ajakan Gurutta untuk makan soto di
sebuah kedai makan dekat Stad Huis, kantor Balai Kota Batavia,
akhirnya Bonda Upe luluh juga setelah mendengar suara Anna datang
menjemput. Keengganan Bonda Upe bukan hanya keengganan berkumpul
dengan orang banyak seperti biasa, kali ini merupakan keengganan untuk
menjejakkan kaki di tanah Batavia. Kota yang telah merenggut kegadisannya,
telah merenggut kemerdekaannya dengan menjadikan dirinya seorang Cabo selama
lima belas tahun. Cukup dengan satu panggilan singkat “Ling Ling?” dari
seorang perempuan yang ada di kedai tersebut, masa lalu Bonda Upe pun
menyeruak mencari jalannya untuk diungkapkan kembali.
Pertanyaan
kedua datang dari Daeng Andipati , keluarganya memang begitu bahagia sepertinya
tapi siapa sangka masa lalu nya begitu memilukan. Ini terkuak ketika Gori
Penjagal mantan pesuruh ayahnya berusaha membunuh Daeng Andipati lantaran
dendam masa lalunya kepada ayah Daeng
Andipati. “Bagaimana mungkin aku pergi
naik haji membawa kebencian sebesar ini? Apakah tanah suci akan terbuka bagi
seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar semua
ingatan itu enyah pergi?”( hal 372 ).
Pertanyaan
ketiga muncul dari sosok sepuh yang begitu mencintai istrinya yakni Mbah
Kakung. Pasangan yang begitu romantic semasa hidupnya , dan kini Mbah Putri
telah kembali kepada yang kuasa dan dimakamkan dengan cara ditenggelamkan di
Samudra Hindia , ya pemakaman ala pelaut. “Gurutta
? Kenapa saat kami sudah sedikit lagi dari Tanah Suci. Kenapa harus ada diatas
laut ini. Tidak bisakah ditunda barang satu dua bulan ? atau ,…….” (hal 469).
Pertanyaan
keempat datang dari sang pelaut tangguh Ambo Uleng. Seorang kelasi dapur kapal
yang lebih banyak diam , didera perasaan menyesal yang teramat dalam akan masa
lalunya. Lantaran kekasihnya hendak dijodohkan dengan pemuda yang lebih pantas.
“ Apakah itu cinta sejati ? Apakah kau
besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu ? apakah kau masih memiliki
kesempatan ?,…” ( hal 491 )
Pertanyaan
terakhir pun akhirnya keluar bukan dari penumpang biasa , melainkan dari ulama
masyur Gurutta Ahmad Karaeng , “Bagaimana
jika saat gelap gulita peluru atau golok perompak itu akan melukai anak-anak
,Ambo ? Bagaimana jika melukai orang tua ? … (hal 530) Orang yang pandai
menjawab begitu banyak pertanyaan sekarang bahkan tidak berani menjawab
pertanyaan diri sendiri. Aku selalu lari dari kenyataan ,…. ( hal 532 )
Terakhir
ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada
seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang
cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang
kerinduan.
C. Kelebihan
dan Kekurangan Novel “Rindu” Tere Liye
1.
Kelebihan Novel “Rindu” Tere Liye
a.
Kisah yang dituturkan dengan
menggunakan gaya bahasa kekinian, membuat novel yang berlatar jaman penjajahan
ini tidak kaku. “ Selalu menyakitkan saat
kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya
kita sayangi…… (hal 372)”
b. Pembaca
dibuat terhanyut sampai lupa kalau ini kisah sebelum perang dunia kedua.
Seperti penggalan kisah saat Mbah Kakung hendak melamar Mbah Putri , “ Bapak aku punya cinta yang besar , hanya
itu yang bisa kujanjikan. Dengan cinta aku memastikan putri Bapak bahagia
selama-lamaya.” ( halaman 207 ). Ditengah kemelut peperangan yang sedang
terjadi masih terselip kisah cinta klasik yang sangat menghanyutkan pembaca.
c. Berbagai
macam ilmu pengetahuan yang disampaikan didalam novel, membuat pembaca terkagum
- kagum atas kepintaran penulisnya. “
Bapak Soerjaningrat sedang mengajari anak-anak pelajaran berhitung ,” Bibi
sedang mabuk laut. Ia bingung sekali , bisa berhitung dengan baik. Ia baru saja
membeli 1/3 kg beras ,,,,,,,,,,” (hal 280) contoh yang digunakan pun
berasal dari keseharian anak-anak selama perjalanan di kapal ini sehingga
anak-anak dengan mudah bisa menangkap. Begitu luar biasanya penulis mampu
menceritakan kisahnya dengan penuh dedikasi dalam berbagai ilmu.
d.
Walau alur ceritanya mundur, sang
penulis tetap pandai mengemas dialog dan membawa pembaca ke rasa penasaran yang
luar biasa. Pembaca sengaja dipermainkan emosinya agar tetap penasaran, dan
terus bersabar menunggu pertanyaan - pertanyaan itu tiba. “Kemana Ambo Uleng setelah 36 jam menghilang …………(hal 245)
2. Kelemahan
Novel “Rindu” Tere Liye
a. Halaman
170 dan 171 penjelasan dengan bentuk tanda baca dalam kurung terhadap
keterangan bangunan Outstadt dan Nederlandsch Indishe Spoorweg Maatschappij pada masa kini,
sesungguhnya tidaklah perlu. Cukup dibuatkan dalam bentuk catatan kaki saja.
Karena ini akan mengganggu setting cerita.
b.
Terlalu berlebihan menggambarkan
imajinasi seorang anak kecil berumur sembilan tahun. Seperti terdapat pada hal 76 “Anna bahkan sempat berpikir , jangan-jangan
cuaca buruk ini juga karena ada penumpang yang berbuat kesalahan. Dan
terlalu berlebihan menggambarkan kisah cinta kakek-nenek yang membuat pembaca
bertanya 'Apa benar ada kisah cinta seromantis itu di jaman itu ?'. “ Sejak
aku menikah , hidupku tak memiliki pertanyaan lagi Gurutta. Aku sudah memiliki
semua jawaban buat apa bertanya lagi? Aku menghabiskan waktu dengan pasti. Aku
bersyukur atas setiap takdir yang ku terima.” ( halaman 468 ) Bagaimana
bisa manusia hidup tanpa memiliki pertanyaan dan keinginan , dalam kenyataannya
itulah hakikat manusia itu sendiri.
c. Kemudian
untuk tulisan masih ada beberapa typo disana - sini, penulisan huruf
ganda, atau bahkan salah nulis tahun. Mungkin editornya terlalu lelah. Di
cetakan pertama pada halaman 322 tertulis 12 Oktober 2013, Tanggal 12 Desember 2013 , pukul dua siang. Kapal Blitar Holland
melanjutkan perjalanan …… ( hal 322). Seharusnya bukan 2013 karena kisah
ini merupakan kisah dari zaman penjajahan.
D. Kesimpulan
Disamping kaya akan muatan sejarah, berupa kuatnya deskripsi situasi dan keadaan
kota-kota pelabuhan yang disinggahi kapal, novel Rindu ini juga banyak
memunculkan peristiwa seru yang tidak terduga yang menghubungkannya dengan
pertanyaan lain dari para tokohnya. Peristiwa mesin kapal rusak hingga mati,
kejadian Mbah Putri meninggal mendadak hingga kejadian perompakan kapal oleh
bajak laut Somalia, semuanya terangkum untuk membuat pembaca tak berhenti
membaca dari awal hingga akhir. Bagi anda yang belum membaca, jangan sungkan
untuk menyisihkan Rp 63.000 dari uang anda untuk membeli novel ini. Saya sangat
merekomendasikan anda untuk membaca novel ini. Karena novel ini
menyuguhkan pembelajaran tentang kehidupan, menyuguhkan pembelajaran
tentang masa lalu yang memilukan, tentang kebencian kepada sesorang yang
seharusnya disayangi, tentang kehilangan dan cinta sejati, tentang kemunafikan.
Karena hal-hal itu sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Novel ini sangat layak untuk menjadi teman santai ,
baik kalangan dewasa ataupun remaja. Novel ini juga bersifat mendidik ,
dibuktikan dengan banyaknya variasi ilmu pengetahuan , serta dedikasi seorang
guru yang tidak kenal tempat dimanapun dan kapanpun dia akan tetap menjadi
seorang guru. Saya sebagai calon pendidik sangat mengapresiasi akan peran Bapak
Mangoenkusumo dan Bapak Soerjaningrat yang diceritakan oleh penulis dengan
sangat apik dan penuh dedikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar